Halaman

Jumat, 14 Desember 2012

Cemburu Pada Fiksi – Cerpen Annisa F. Rangkuti

                                               

Rul menatapi sehampar senja di depannya. Selalu. Bila langit tak sedang kelabu, senja-senja itu senantiasa menggiringnya duduk di beranda, lalu memandang diam pada helai jingga itu. Selalu juga, Ras menemaninya duduk di sampingnya sambil membawakannya teh dan gorengan hangat. Kadang pisang, kadang ubi, kadang tempe, kadang tahu, macam-macam. Lalu segera saja tiap-tiap senja jingga itu memberi makna yang sama. Senja berarti duduk di beranda, ditemani Ras dan hidangan sore yang hangat nikmat.

Tapi senja ini berbeda agaknya. Selarik halus jingga yang memanjang bersama gumpal-gumpal awan itu tiba-tiba saja membentuk segurat wajah. Wajah yang puitis. Ah, para seniman kata sudah terlalu sering menggunakan frasa itu. Tapi sungguh, di sore yang indah ini, langit senja itu menjelma serupa wajah yang telah lama berdiam di satu ruang di dalam hatinya. Terkunci rapat lalu tertimbun memori-memori baru yang mengantarkannya ke dirinya sekarang ini.

Rul terkesiap sejenak. Ras tidak menyadari itu. Dalam diamnya batin Rul mulai menyusun kata demi kata. Puisi sederhana;

Duhai, wajah elok yang diwarnai jingga senja
Mengapakah tiba-tiba muncul menggundahi hati?

Jari jemari Rul mulai mengetuk-ngetuk tangan kursi. Teh dalam cangkir di tangan kanannya masih mengepul. Ia hirup pelan-pelan dengan bibirnya yang tiba-tiba saja bergetar halus. Ras tak menyadari itu. Ia asyik mengunyah pisang goreng sambil membaca majalah.

Dalam seruputnya, mata Rul tengadah ke wajah jingga yang tersenyum kepadanya. Duhai, bahkan teh manis ini masih kalah rasa dibandingkan manis indahnya wajah itu. Cepat-cepat ia taruh cangkirnya di meja dengan tangan yang kini ikut bergetar pelan, seperti bibirnya. Ras tetap tidak menyadari itu.  Ia masih asyik mengunyah tempe goreng sekarang, dan masih menyusuri kalimat-kalimat di dalam majalah dengan matanya.

Senja yang hening. Senja yang diam. Senja yang sepi dan sunyi. Bahkan hampir senyap jika tak ada kicau burung pipit yang melintasi halaman rumah mereka. Desir angin yang menggesek dedaun bagai alunan biola dari negeri yang jauh. Begitu sepoi. Sesungguhnya bisa menimbulkan kantuk. Namun wajah elok, manis nan indah itu masih mengapung di sana, berlatar hamparan jingga yang makin memerah. Gurat wajah itu justru menguat, bukannya sirna. Terus melekat di benak Rul hingga Ras mengajaknya masuk sebelum malam mengelam.

***

Sebelum senja datang hari itu, Rul telah duduk di beranda. Pada selembar kertas virtual di monitor, ia mengadu. Bercurah rasa tentang gundah yang timbul tenggelam memenuhi benaknya semingguan ini. Ia tak ingin Ras tahu tentang rasanya ini. Maka ia biarkan jari jemarinya menari sendiri mengikuti buncahan kata-kata yang mendesak keluar. Mengosongkan beberapa ruang mampat di otaknya agar lega. Menguntainya menjadi berlarik-larik puisi.

Separuh mimpiku hilang
Rasanya tak lagi pernah sama
Rindu pada rindu
Rindu pada cinta
Rindu pada rasa
Yang pernah sejenak kau titip di hatiku
Sejenak yang memasungku, lama
Membuai imajiku tanpa ampun
Meronakan anganku tanpa batas
Menyalakan lagi tungku yang semula enggan berdiang
Hangat, serupa bayang-bayang senyummu
Nikmat, indah, dan aku ingin lagi
Ingin lagi kau memasungku lebih lama
Lebih, lebih lama
Hingga aku tahu bahwa aku takkan pernah bosan
Pada aroma surga yang kau embuskan
Lewat larik-larik puisi sederhana
Lewat sungging bibirmu
Lewat teduh tatapmu
Lewat mimpi-mimpi yang kau antar
Tetap saja, aku ingin terpasung lebih lama

Selesai itu, ia terdiam. Memandangi kertas virtual yang kini telah bertaburan kata-kata bertema gundah. Apa yang kini tengah kugundahi? Ia berpikir, mencoba mencerna setiap kata hamburan dari kepalanya itu. Satu sisi batinnya menolak kegundahan itu. Sisi lainnya sayup-sayup memunculkan satu nama sekaligus wajah pemiliknya. Mulanya samar, namun makin kuat ia menolak, makin tegas pulalah bayang wajah itu tercipta. Tak lagi dapat ditampik, sewajah sutra nan halus lembut milik Rin lah asal muasalnya. Mengapa Rin? Dan…mengapa sekarang?

Rinta Meilani. Duhai…sedesir cinta lama menggelayuti hatinya kini. Dimana dia sekarang? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Ia tersenyum kecil mengingat selirik lagu band mendayu itu. Tanpa sadar, ia terus tersenyum, terus mengetik, sampai Ras muncul dari balik pintu membawa nampan berisi dua cangkir teh panas dan sepiring goreng tahu. Senja seperti biasa. Rul begitu hanyut dalam kata-kata yang ia ciptakan sampai tak menyadari Ras yang telah duduk di sampingnya, tanpa majalah. Ras hanya diam di situ sambil sesekali melirik Rul yang masih terus asyik dengan laptopnya.

“Bang,” Ras menegur. Rul tak menyahut. Dipanggilnya lagi dengan volume yang lebih keras.
“Bang,” Beberapa jenak sebelum akhirnya Rul menyahut tanpa menoleh.
“Hmmm…”
“Aku mau tanya sesuatu,”
“Apa? Bilang saja,” Ras diam sejenak sebelum kembali membuka suara.
“Aku menemukan ini di atas meja kerjamu. Ini untuk siapa?”

Rul menoleh bersamaan dengan munculnya kerinyit di keningnya. Ia mengambil kertas yang dipegang Ras, mengamatinya sejenak. Kerinyit dahinya perlahan memudar. Ia tersenyum kecil lalu memandang Ras yang menanti jawabannya.

“Ini bukan untuk siapa-siapa, Ras. Memangnya kau pikir ini untuk siapa?”
“Itu puisi untuk perempuan lain, kan?” Ras bertanya menyelidik. Senyum kecil Rul berubah menjadi tawa renyah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menatap kertas bertulis tangan di depannya.

“Bagaimana bisa kau berkata kalau ini untuk perempuan lain?”
“Aku istrimu, bang. Aku tahu dari perasaanku sebagai istrimu.”
“Apa cukup hanya mengandalkan perasaan perempuanmu saja?”
“Aku memang tak punya bukti lebih jauh tapi perasaanku cukup kuat untuk membuktikan itu.”
“Tapi bukan berarti perasaanmu selalu benar, kan? Bisa saja itu cuma pikiranmu yang sudah tercemari cerita-cerita yang ada di majalahmu itu. Tentang suami yang ketahuan berselingkuh karena surat cinta yang tak sengaja ditemukan istrinya. Lagipula, secarik puisi ini belum bisa menjadi bukti kalau aku sedang memikirkan perempuan lain ketika menuliskannya.”
Hening beberapa jenak. Sesungguhnya hati Rul mulai kebat-kebit. Bagaimana bisa aku lupa menyimpannya? Sementara Ras mulai meremas jari jemarinya sendiri. Gelisah.
“Bagaimana mungkin kau bisa membuat puisi begini indah, sepenuh perasaanmu, jika sedang tak ada perasaan cinta dan objek perempuan yang kau pikirkan sekaligus?”
Rul menarik nafasnya dalam dan mengembuskannya. Bagaimanapun, ia sudah tertangkap basah sekarang. Kuyup segenap jiwanya. Tapi dikuatkannya hati dan matanya untuk menatap mata Ras lekat-lekat.
“Kau kan tahu aku ini suka menulis fiksi lalu mengirimkannya ke koran atau majalah? Apa yang salah jika aku menulis puisi ini?”
“Tak ada yang salah jika puisi ini tak terselip rapi sendiri di bawah buku agendamu lalu kau tulis sebuah inisial di bawahnya.”
Pandangan Rul turun, mencari inisial yang dimaksudkan Ras. Dan tertangkaplah ia dua kali. Semakin kuyuplah jiwanya. Dalam kebasahan itu, ia memacu otaknya agar berpikir lebih keras untuk menemukan jawaban yang tepat guna menanggapi ucapan Ras. Ia memilih tertawa lebih dulu untuk menenangkan jantungnya yang mulai berdentuman.
“Ini kan inisialmu, Ras. RM. Rasti Mahadewi.” Ia berlega hati saat tahu suaranya tak tercekat ketika mengatakan itu. Ras melengos. Dipalingkannya muka dengan wajah menegang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum berujar,
“Itu bisa jadi inisialku. Tapi kau tak bisa mengelak kalau aku mengatakan isi puisi itu tak mencerminkan diriku, Bang. Lihatlah. Rambutku lurus, tak ikal mayang, kulitku cokelat, bukan secerah mentari, dan aku lebih suka mawar daripada melati. Kau pasti tahu itu.” Rul diam dengan masih memegang kertas puisi itu.
“Lagipula, inisial yang sama bisa berarti nama yang berbeda, kan?”
Tamatlah sudah! Rul mengutuki dirinya sendiri. Wajahnya memanas. Tapi sebagai lelaki, ia tak ingin begitu saja menyerah pada cecaran Ras. Ia mencoba tenang dan memaksa otaknya bekerja lebih keras untuk mencari alasan. Ia pasang ekspresi muka sedatar mungkin, lalu berkata dengan lembut pada istrinya.
“Mengapa kau mempersoalkan keselarasan isi puisi dengan inisialmu di situ, Ras? Tokh, aku hanya menulis fiksi berupa puisi. Bukankah untuk menulis fiksi terkadang dibutuhkan imajinasi liar tak terkendali? Maksudnya pasti agar fiksi yang tercipta pun jadi bernyawa, benar-benar hidup, padahal isinya belum tentu sesuai kenyataan. Jadi janganlah heran bila isi puisi yang berinisial namamu tak sesuai dengan adanya dirimu, Ras, istriku sayang…”
“Lagipula, aku berniat mengetiknya nanti untuk kukirimkan ke koran Minggu. Jadi, tak ada yang perlu dipersoalkan dari puisi itu. Itu hanya fiksi.”
Selesai berkata itu, Rul merasa aneh dengan ucapannya sendiri. Ia sedang mengkambinghitamkan sesuatu bernama fiksi! Hati putihnya berontak, namun kali ini terpaksa harus mengalah pada sisi hitamnya.
Ras lalu diam saja. Ia memang tak mengerti bagaimana proses mencipta puisi, pun cerita-cerita fiksi seperti yang kerap ia baca di majalah langganannya. Ia memang tahu puisi-puisi dan cerpen-cerpen Rul sesekali terpampang manis di koran Minggu. Kebanyakan bertema sosial. Tapi tak sedikit juga yang bertema cinta. Tanpa banyak bertanya, ia menikmati fiksi-fiksi itu. Fiksi-fiksi yang menurut Rul terinspirasi dari mana saja, siapa saja. Bisa dari murni khayalannya atau -kini- dari pergulatan gundah batinnya sendiri kala teringat lagi pada sosok Rinta Meilani. Ahh
***
ilustrasi gambar diambil dari SINI

Kamis, 06 Desember 2012

Kereta Kematian

Kereta Kematian

Cerpen Leopold Indrawan (Koran Tempo, 11 November 2012)

TAK pernah kubayangkan bagaimana rasa kematian itu. Ingatanku tentang hidup berakhir ketika sebuah peluru menembus keningku. Seragam prajuritku kembali bersih dan licin seperti sebelum aku berangkat ke Normandia. Tak ada bekas koyak ataupun resapan darah. Luka-luka di sekujur tubuhku sirna seakan kulitku belum sempat menghirup udara perang. Namun kurasa tak banyak yang hilang. Padahal kukira kematian akan melenyapkan ingatan.
“Kau punya kekasih?” tanya Magnus (kami sama-sama memandang ke luar jendela). Ia melahap dua kursi untuk tubuhnya yang terlampau besar. Pria itu mengenakan baju zirah rantai, celana linen cokelat muda kusam, dan sepatu bot kulit bertemali. Ia memangku helm baja berwarna perunggu. Sebuah perisai kayu bundar bercat biru-merah miliknya disandarkan di punggung kursi depan.
“Aku sudah menikah,” jawabku.
Magnus berpaling ke arahku. Ia mengangkuk-angguk, lantas menepuk pundakku. Jemariku mengetuk-ngetuk helm timah di pangkuanku, mencoba mengalihkan sedikit kecanggungan pada sosok akrab yang baru kukenal itu.
“Kau merindukan istrimu?” Ia melepaskan genggamannya. Senyumnya tampak tipis di bawah lebat kumis jingganya.
Aku tersenyum mengiyakan. Dan aku mungkin perlu bersedih sekaligus berlega hati, karena kematian tak menghapuskan kenangan. Barangkali hati kecilku sudah menduga datangnya saat ini. Ketika akan berangkat perang, aku berpesan pada Peggy untuk tidak menantiku kembali. Pelukanku, pelukan kami, pada waktu itu pun menjadi pelukan terakhir.
“Kau akan menemuinya lagi di Valhalla!” ujar Magnus dengan yakin.
Aku mendengar nama gaib itu lagi: Valhalla. Valhöll.
Sejak perjalanan baru dimulai, Magnus bercerita tentang mitos-mitos yang ia yakini. Menurutnya, setiap orang yang mati secara heroik di medan perang akan diantar para valkyrja, kelompok batari yang bertugas memilih para ksatria yang telah tumpas, menuju Valhalla—sebuah balai agung berdinding tombak-tombak dan berpagu perisai-perisai emas. Valhalla terletak di Asgard, alam para dewa yang dikuasai Odin, sang penguasa Kerajaan Sorga dalam saga-saga Skandinavia. Setiap ksatria yang terpilih untuk memasuki Valhalla dipersiapkan untuk menghadapi Ragnarök—perang akhir zaman para panteon yang mengingatkanku pada wahyu Santo Yohannes tentang Pertempuran Armageddon. Magnus mengaku, tadinya ia percaya bahwa hanya pendekar-pendekar Viking seperti dirinyalah yang berhak memasuki Valhalla, tetapi karena aku satu gerbong dengannya di kereta kematian ini, ia pun yakin aku diantarkan menuju tempat yang sama. Kendati aku tak paham bagaimana ia meyakini bakal bertemu istrinya di Valhalla. Istrinya dan istriku kecil kemungkinan akan mati karena bertempur demi memenangkan perang. Ia tak menjelaskan, aku pun tak bertanya.
Kereta terus melaju dan entah akan berhenti di mana. Pemandangan di luar menampilkan bintang-bintang berjatuhan—putih, bercahaya, dan melesat-lesat. Indah, namun sesaat saja sirna tanpa makna. Ombak-ombak besar bergulung-gulung di bawah jembatan—mustahil ada yang selamat jika tergulung di dalamnya. Hal lain yang memikatku adalah jalur kereta ini: sebuah jembatan amat panjang yang berpendar seperti pelangi. Magnus menyebutnya Bilröst atau Bifröst. Warna merahnya adalah api, diciptakan supaya para raksasa es tak dapat menyeberang ke sorga. Warna birunya adalah udara dan warna hijaunya adalah air. Ketiga warna itu berpendar dan berkobar menjembatani sorga dan bumi.
“Kita menuju entah,” kataku.
“Asalkan kita tidak dibawa ke Niflheim saja! Hahaha!” seloroh Magnus. Aku kurang paham letak kelucuan candaannya. Ia pikir aku turut mengenal nama-nama asing yang disebutkannya sejak tadi: Æsir, Urd, Himinbjörg, Niflheim, Muspelheim, dan banyak nama lain yang mudah kulupakan.
Aku khusyuk memandangi planet-planet dan bintang-bintang bertaburan di angkasa hitam. Magnus, yang merasa paling paham mengenai konsep kosmogoni bangsanya, menjelaskan padaku perihal benda-benda langit itu. Menurut dia: akar-akar dan ranting-ranting dari pohon semesta Yggdrasil bertambah banyak berlipat-lipat ganda, menghubungkan berbagai dunia baru di celah Ginnunga, hamparan luas kehampaan. Magnus memercayai keberadaan Yggdrasil; pohon ash mahabesar yang menjadi pusat kosmos, pokok sembilan dunia. Ah, teorinya akan sangat fantastis untuk menjadi dongeng anak-anak.
Di kursi seberang aku berkenalan dengan James Buchanan. Ia memintaku memanggilnya Bucky. Ia masih sangat belia dan senyumnya masih sepolos kuntum daffodil. Kedua matanya pun nampak terlalu jernih untuk merasakan kesedihan akan kematian. Bucky mengenakan seragam khaki tamtama Amerika Serikat—ini yang membuatku tak segan menyapanya. Ia seorang prajurit yang tewas dalam ledakan ketika hendak menjinakkan bom dalam pesawat di pangkalan angkatan darat European Theater of Operations. Kejadian itu berlangsung pada masa perang yang juga kualami—Perang Dunia Kedua.
“Bumi kita mungkin sama, tapi aku berasal dari kemungkinan yang lain,” kata Bucky. Tak tergurat kesedihan pada parasnya. Bisa jadi aku menilainya terlalu dini.
Dari barisan seberang depan, ia berpindah kursi ke samping kiriku. Aku kemudian menjabat tangannya. Kami dibatasi oleh jalur pejalan. Kami banyak bercerita tentang Perang Dunia Kedua yang kami alami. Bucky juga berkisah tentang sahabat karibnya, seorang pahlawan perang yang menyembunyikan identitasnya dan bertarung tanpa peluru mengalahkan pasukan Jerman. Aku pun memperkenalkan Bucky pada Magnus yang tak memahami pistol dan peluru. Ia juga tidak mengenal Nazi dan Adolf Hitler. Kami bertiga berasal dari semesta yang berbeda—aku dan Bucky berasal dari tempat yang agak berdekatan. Magnus lebih bangga bercerita tentang pertempurannya melawan naga bersisik perunggu di perjalanannya menuju Islandia. Peperangan dan pertempuran akan menjadi bahan cerita yang menggairahkan, ketika semua itu sudah berlalu dan luka-luka kami telah sembuh.
“James Buchanan.” Sekonyong-konyong terdengar suara berdengung memotong pembicaraan kami. Sesosok makhluk yang tak jelas perempuan atau lelaki, hitam legam dan tinggi besar, berjalan tegak menghampiri kami. Wajahnya tersimpan dalam bayang-bayang pekat.
“Ada apa, Azrael?” sahut Bucky.
“Ikutlah denganku. Ada yang telah mendobrak takdir dan menyambung usiamu.” Suara Azrael terdengar begitu tak manusiawi, serupa dengung lebah yang keras dan tegas. Bunyi abstrak itu begitu masuk ke dalam benak tiap pendengarnya menjadi bahasa yang dapat dimaknai.
“Aku hidup kembali? Bagaimana mungkin?”
Azrael mengangguk hening.
Aku dan Magnus hanya menyaksikan keduanya dalam diam.
Bucky bangkit berdiri. Ia melambaikan tangannya pada kami dan berjanji untuk tidak melupakan kami. Azrael menuntunnya ke pintu gerbong di depan baris kursi terdepan. Pintu itu membuka dan menampakkan laut lepas dan puing-puing pesawat. Pemandangan di jendela pun berganti serupa. Bucky melangkah ke dalam ruang itu dan kembali melebur bersama waktu. Azrael melenyap menjadi kepulan asap hitam. Planet-planet dan bintang-bintang kembali bermunculan. Ingatanku beralih pada peristiwa sebelum kematianku.

Omaha, 6 Juni 1944
Pagi itu batas antara hidup dan mati begitu dekat dan sengit. Desau angin seolah tak henti-henti merapalkan syair kematian. Dan tiap lesatan peluru mendaraskan firasat buruk.
Langkah-langkah serdadu berkecipak di pantai menyatu dengan letupan-letupan mesiu. Lontaran-lontaran proyektil berdesing-desing seumpama puluhan kereta api melintas di atas ubun-ubun. Pasir-pasir berloncatan dihunjam peluru-peluru senapan mesin. Ombak-ombak berdebur membasuh tubuh-tubuh yang terkapar di batas pantai. Pagar-pagar baja raksasa berdiri kokoh menjadi nisan bagi tiap jenazah. Kayu-kayu runcing terpancang congkak menantang angin laut.
Sekian orang terkapar, bersisa separuh tubuh—pinggul sampai telapak kaki mereka hancur oleh ledakan ranjau. Sekian orang remuk kepalanya terhantam proyektil-proyektil meriam. Sekian orang lainnya kehilangan satu atau sepasang lengan mereka yang terputus oleh bermacam jebakan dan serangan tak terduga. Kucuran darah memerahkan ombak-ombak yang menjilati pesisir. Banyak di antara kami yang pasrah menerima peluru. Banyak di antara kami yang mau berhenti saja. Tapi, jika kami berhenti, kekacauan ini tak akan berhenti.
Jerit kesakitan dan kumandang perintah timbul tenggelam dalam kur kematian. Demikian pula petikan-petikan mazmur dan caci maki. Tak ada yang mampu kudengar jelas di ambang hidup dan mati. Derit pintu kematian tak kalah berisik daripada riuh kehidupan.
Aku mengendap di undakan pasir kering berkerikil dekat sebuah meriam Howitzer. Sengitnya baku tembak menyempitkan luasnya medan. Kawan-kawan sereguku memencar ke arah yang tak kuketahui dan mungkin juga mereka sudah mati. Selebihnya aku hanya membidik ke depan bersama regu yang tak kukenal. Peluh mengucur di wajah dan sekujur badanku. Ada lonjakan panas tak wajar yang membersit dalam badanku. Di saat yang kurang tepat, aku memikirkan Peggy dan ayah-ibuku. Sungguh menggelikan. Batinku malah cengeng di saat yang tak pantas. Aku masih belum boleh pulang!
Kelengahanku membikin perutku terserempet peluru. Aku terjatuh dan seragamku tercabik-cabik kawat berduri. Aku terjerat dalam semak kawat itu. Sementara senapanku terlempar ke pasir dan tak mampu kuraih. Bunyi berdesing-desing sekonyong-konyong mengalir deras tepat di atas kepalaku. Aku berguling ke balik tumpukan karung pasir dalam keadaan masih terjerat. Aku terpaksa menahan perih tertusuk kawat untuk berlindung sementara.
Things are really fucked up!
Perutku tertancap sejumlah duri dan berlumuran darah. Aku mencabuti duri-duri itu secepatnya untuk menyingkat perih. Namun, perih tak secepat itu meninggalkanku. Dan tahu-tahu aku sudah sendirian di antara pertempuran yang berlangsung. Aku memandang ke arah pantai yang melengkung. Tank-tank amphibi berdatangan. Sejumlah pesawat dan kapal sekutu masih sibuk meledakkan pantai untuk membuat lubang-lubang perlindungan.
Saat suasana kurasa cukup memungkinkan, aku memutuskan untuk memanjat tebing pendek di hadapanku menuju tembok besar di atas bebatuan itu. Penembak senapan mesin di balik tembok itu tengah keasyikan menembaki prajurit-prajurit di pinggir pantai. Aku berjaga-jaga membidik ke kiri-kanan. Tahu-tahu seregu prajurit berseru: “FIRE IN THE HOLE!”
Aku secara refleks berlari dan melompat ke area yang kosong. Ledakkan besar merontokkan sehamparan pasir berkerikil di atasku. Ledakkan itu berasal dari susunan pipa-pipa hijau yang lekas kusadari adalah rangkaian pelontar torpedo Bangalore.
“Dasar tolol! Kau bisa mati konyol!” seru prajurit dari balik undakan pasir yang lebih rendah dari posisiku. Ia berniat membersihkan daerah di atasku itu.
Aku yang lengah kini berada di posisi yang berbahaya. Di atas bekas ledakan torpedo Bangalore, penembak Jerman sudah membidik tepat ke kepalaku. Aku bersiaga di luar kesadaranku untuk menembak balik. Tetapi kecepatan telah sirna. Ketika kau akan mati, kau akan merasakan kematianmu begitu perlahan.
Peluru-peluru tampak membeku di udara. Di ambang kematian seperti ini, takdir membiarkan kita untuk melihat sekeliling dalam kejernihan. Aku pun menyadari tubuhku tak lagi berharga. Pikiranku seolah tahu persis apa yang mesti kuperbuat. Aku berlari dalam kecepatan yang tak terhitung lagi oleh waktu. Aku menghadang peluru-peluru yang mengambang beku di udara itu dengan tubuhku yang kelak tertembus. Kuempaskan bogem ke arah serdadu Jerman yang menembakku. Sebagian giginya terpelanting. Kuhunjamkan sebilah pisau panjang tepat pada jantungnya. Aku bersimpuh di samping mayatnya dan aku mulai terisak meski akal sehatku tidak mempersilakanku untuk bersedih. Dari sudut yang tak lagi kuwaspadai, sebuah peluru tepat menembus keningku dan tubuhku terlempar dengan sendirinya ke pasir berbatu.
Tubuhku tak merasakan apa-apa lagi sesudahnya.
Sebuah tangan nan hitam meraihku, membangkitkanku. Aku melihat sosoknya tanpa keterkejutan yang berarti. Entah, rasanya firasatku sudah menduga akan hadirnya sosok itu. Ia hitam—lebih pekat daripada bayang-bayang malam sekalipun—dan tinggi besar, serta memiliki suara berdengung tegas bagaikan skuadron lebah. Ia Azrael, atau Izrail, malaikat pencabut nyawa. Ia bagaikan aura hitam tak berbentuk.
Azrael menggiringku pada sebuah lubang portal yang menganga lebar di antara medan pertempuran. Di saat yang sama, lubang-lubang serupa tampak di sepanjang Omaha, dan sosok-sosok Azrael berhamburan di sepanjang pantai, menggiring tiap serdadu yang telah tumpas ke dalam lubang-lubang itu.
Di balik lubang-lubang yang tampak bercahaya putih cerlang tampaklah sebuah stasiun kereta api yang panjangnya mencapai cakrawala. Stasiun itu ramai oleh orang-orang yang berkerumun mengantri pada tiap peron. Tiap petak lantai memantulkan rupa di atasnya bagaikan cermin paling jernih. Pilar-pilar pemisah peron menjulang tinggi sampai ke langit-langit yang berkubah-kubah. Pilar-pilar putih mengilap itu tampak megah oleh cincin-cincin emas yang mengitarinya. Di seluruh permukaan dinding stasiun tertambat jutaan jam tengah berdetak menunjukkan waktu-waktu yang berbeda. Sebuah kereta perak dengan ribuan jendela yang memantulkan langit cerah dari tingkap-tingkap kaca pada kubah telah siaga menanti penumpang. Relnya adalah pelangi yang membara.
Azrael membawaku pada satu gerbong di mana aku bertemu dengan beberapa orang yang kurang lebih senasib. Mereka adalah pendekar-pendekar yang mangkat dari berbagai sudut ruang dan waktu alam semesta. Ada seorang samurai muda yang meninggal dalam pertempuran Sekigahara di Jepang. Ada seorang aktivis pembela hak asasi dari Indonesia yang meninggal diracun di pesawat menuju Amsterdam. Di sinilah aku berkenalan dengan Magnus, pria Viking yang terbunuh di sebuah pertempuran di Paris. Gemetar aku ketika mendengar ia dibunuh kawannya sendiri saat mencegah kawannya itu membunuh seorang pendeta. Akan tetapi, Magnus adalah pria yang gembira dan bukan perompak bengis seperti dalam bayanganku tentang orang-orang Viking. Kami berbincang dalam bahasa yang berbeda, tetapi kematian—atau keabadian—telah meleburkan belenggu bahasa sehingga kami dapat memahami satu sama lain. Magnus sempat cerewet sewaktu ia tak menemukan perahu panjang yang dalam bayangannya akan mengantarnya menuju Asgard. Ia malah menemukan sebuah kereta metalik yang panjangnya melebihi jarak pandang. Kereta itu memiliki bagian dalam yang luas dengan dinding-dinding abu-abu keperakan berguratkan puisi-puisi tentang asal-muasal alam semesta. Itu tulisan futhark, kata Magnus memberi tahu jenis aksara geometris yang tergurat pada dinding. Mirip lambang Waffen-SS, pasukan bersenjata Nazi, pikirku.
Tak lama setelah aku duduk di salah satu kursi nan empuk berbordir pohon Yggdrasil bersepuh emas, kereta pun melaju mengarungi pelangi. Sunyi tanpa gemuruh mesin dan lengking siulan lokomotif. Magnus pun lantas bercerita panjang lebar tentang mitos-mitos bangsanya, mulai dari kisah penciptaan raksasa pertama sampai riwayat-riwayat para dewa. Aku menjadi pendengar yang baik (meski tak selalu setia) sembari menekuni apa yang tengah terjadi dalam kematianku. Aku terpikir tak sempat pulang untuk pamit. Aku memandang ke luar jendela yang penuh dengan awan dan berucap dalam hati: mungkin hanya kerinduan yang tak mampu kita tuntaskan dalam kematian. Sebab hidup memiliki kisahnya sendiri untuk dituntaskan. (*)

Rabu, 21 November 2012

Saya dan Lelaki yang Menangis


Cerpen Yetti A. Ka (Suara Merdeka, 18 Desember 2011)
SUDAH satu jam ia menangis. Sudah satu jam pula saya hanya memandanginya dengan tatapan mata sama melankolis dengan perasaan seseorang yang telah meminta saya datang menemuinya ini. Saya tahu betul apa yang ia butuhkan, sebagaimana saya tahu keinginan orang-orang yang pernah menghubungi saya, lalu membuat janji bertemu di tempat yang mereka tentukan sendiri (biasanya tempat yang jauh dari keramaian). Dan, bagi saya, ini kali pertama menghadapi seseorang yang menangis selama satu jam dan belum berkata sama sekali, apalagi berteriak-teriak mengeluarkan seluruh kotoran yang mengendap di perasaannya, yang barangkali telah ia simpan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Lelaki ini hanya betul-betul menangis. Namun begitu, dari cara menangis, saya tahu sesungguhnya ia telah mengalami sesuatu yang berat dalam hidup. Saya tidak akan menanyakan soal itu padanya. Itu bukan urusan saya. Saya dihubungi olehnya untuk menjadi seorang pendengar (bukan seseorang yang menatapnya dengan mata ingin tahu dan bertanya macam-macam). Pekerjaan yang satu tahun ini saya jalani. Ah, jangan berpikir kalau pekerjaan sebagai pendengar itu sesuatu yang mudah. Kalau tidak percaya, cobalah mendengar seseorang berbicara selama sepuluh menit saja tanpa menyelanya apalagi bertanya atau berkomentar, setelah itu kau akan mengerti betapa sulit menjadi seorang saya yang mendengar orang bicara hingga berjam-jam.
Saya juga tidak tahu siapa nama lelaki ini. Saya memang tidak pernah bertanya tentang nama saat orang menelepon untuk menentukan waktu dan tempat di mana saya akan menjumpainya. Sore kemarin, lelaki muda berwajah oriental ini telah meminta saya menemuinya di padang rumput, tepatnya di bawah pohon akasia, pinggir kota, pukul sepuluh pagi. “Saya memakai t-shirt ungu dan jeans biru,” ujarnya. Tak lupa ia memberikan keterangan lebih detail di mana tepatnya akan menunggu.
Lalu dengan mudah saya menemukan ia di sini, duduk di atas rumput tanpa alas sama sekali. Wajahnya dingin, terkesan tertutup. Ia tidak tersenyum. Cuma mengangguk kecil saat saya bertanya dengan isyarat sederhana—untuk memastikan saja kalau saya tidak salah orang. Setelah kami duduk berhadapan, ia cepat sekali luruh. Menangis. Mata indahnya basah kuyup. Lelehan air jatuh di pipi dan itu sengaja ia biarkan. Bahu kurusnya terguncang-guncang. Sementara suara tangisnya, menurut saya, sedikit ia tahan.
Sudah satu jam lewat, lelaki di hadapan saya masih juga menangis dengan cara yang dapat membuat siapa pun yang melihat ingin meraihnya.
***
LELAKI di depan saya yang, meski mata mulai terlihat bengkak, tetap saja tampan, mengambil tisu dalam saku celana. Ia mengeluarkan ingus yang memenuhi hidung, membersihkannya dengan tisu, lalu meneruskan tangisnya. Saya tetap duduk, tetap memandangnya. Saya menunggu sampai ia bisa mengatakan sesuatu. Karena saya seorang pendengar, mendapati ia bicara merupakan bagian terpenting dari pekerjaan ini. Saya berharap ia berkata banyak. Banyak sekali. Saya malah ingin ia bicara sambil marah, dengan ekspresi selepas-lepasnya. Bila ia terbiasa menahan semua di hati, ini justru saat yang tepat baginya untuk bersikap berbeda. Bukankah itu gunanya ia menelepon saya dan membuat janji bertemu di padang rumput yang sepi ini? Saya bukan seseorang yang mengenalnya; bukan rekan kerja, bukan teman, bukan saudara atau kenalan. Ia tidak perlu sungkan atau berpikir saya punya kepentingan lain atas apa yang ia bicarakan. Saya bekerja profesional. Setelah menemui seseorang dan mendengar ia bicara mengenai berbagai kejadian pahit dalam hidup, saya tidak pernah memikirkan atau menyimpan semua yang saya dengar itu dalam waktu lama. Seringkali saya segera membuangnya, seperti ia membuang berlembar-lembar tisu sehabis mengelap ingus.
Dua jam sudah, lelaki di hadapan saya terus menangis.
***
MEMASUKI jam ketiga—saat serombongan anak berseragam sekolah mendekat, dan tampaknya mereka akan duduk-duduk sebentar menikmati pemandangan indah padang rumput ini—lelaki di depan saya mengangkat wajah yang basah. Ia mengeringkan mata, pipi, hidung, mulut dengan tisu yang ia ambil lagi dari saku. Kemudian kami saling bertatapan. Saya mengira, inilah saat ia akan bicara. Saya sudah menduga-duga sendiri, bisa jadi ia bermasalah dengan pacar atau istrinya. Sangat mungkin juga ia dan teman kerja terlibat konflik yang serius di kantor. Atau ia sedang sedih karena berhadapan dengan orang tua yang, menurut ia, tak bisa memahami kehidupannya.
Semua yang saya pikirkan itu segera buyar ketika lelaki itu berkata, “Sudah selesai. Hati saya sudah ringan dan lebih nyaman sekarang.”
 mengambil amplop dalam tas secara terburu. Lantas menyerahkannya pada saya juga dengan terburu, “Suatu hari saya akan meneleponmu lagi,” ujarnya seraya mengenggam hangat tangan saya—setengah memaksa agar saya menerima kebaikan darinya.
Saya tetap diam. Ini benar-benar pertama kali saya menemui seseorang yang memakai jasa saya hanya untuk mendengarkan ia menangis sepanjang pertemuan. Tapi setidaknya saya belajar darinya bahwa tangisan itu juga bahasa yang telah banyak sekali menyampaikan sesuatu yang—sangat mungkinlebih luar biasa dari ribuan kata.
***
SETELAH lelaki itu pergi, saya tinggal sendirian. Saya yang minta ia pergi lebih dulu. Memang begitu biasanya. Saya butuh waktu beberapa menit mengatur perasaan saya kembali sebelum meninggalkan padang rumput yang sebentar lagi bakal tambah ramai dikunjungi anak-anak yang tinggal di sekitar sini untuk bermain bola dan mencari serangga sepulang sekolah. Saya harus memastikan, ketika naik angkutan kota nanti, perasaan saya mesti sama hijau dan segarnya saat berangkat tadi pagi.
Sendiri, memandangi padang rumput yang cukup luas membuat hati saya berdesir. Saya memejamkan mata beberapa jenak. Ah, sebenarnya saya tidak pernah membayangkan menjadi seorang pendengar. Sama sekali tidak terbayangkan. Cita-cita saya waktu kecil ingin menjadi pramugari karena setiap hari pesawat melintas di atas atap rumah kami. Itu cita-cita yang sangat keren di mata teman-teman. Hampir semua anak-anak perempuan di sekitar rumah kami memang ingin menjadi pramugari. Lalu saya tidak tahu kapan persisnya saya merubah impian itu, tiba-tiba saya sudah ingin menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Betapa luar biasa dalam pikiran saya waktu itu, berdiri di tengah anak-anak yang lincah, menyanyi bersama, menari, mendongeng, membaca, mewarnai gambar, membuat kura-kura dari lilin, menggunting kertas, hingga merayakan ulang tahun bersama.
Apa yang terjadi kemudian, saya tidak pernah menjadi keduanya. Saya tidak menjadi pramugari, juga gagal menjadi guru taman kanak-kanak. Tamat sekolah menengah atas saya justru menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai. Ia anak seorang sahabat keluarga. Saya menyerah saja ketika itu. Bapak dan ibu saya orang miskin. Kami tak punya banyak pilihan.
Hanya saja, pernikahan itu ternyata babak paling buruk dari kehidupan saya. Suami saya pencemburu. Saya tidak boleh keluar rumah. Saya tidak boleh berbicara dengan lelaki selain dia. Saya tidak boleh melakukan apa-apa selain mengerjakan apa yang ia kehendaki. Ia pun sering berbuat kasar. Tubuh saya pernah disiram air panas. Kepala saya sering dibenturkan ke dinding. Mata saya acap kena pukul, meninggalkan biru tua selama beberapa minggu. Daun telinga kanan saya diiris pada satu malam paling gelap. Hati saya menanggungkan sakit paling sakit. Saya tidak mau menyerah untuk kedua kali.
Saya tinggalkan lelaki itu. Saya pergi ke kota ini. Saya menata hidup pelan-pelan. Mencoba berbagai pekerjaan, dari babu hingga buruh pabrik. Pada akhirnya, setelah melalui proses yang panjang—bermula ketika saya bertemu ibu tua di taman kota yang menangis seharian sambil bercerita tentang hidup yang hampa—saya memilih menjadi seorang pendengar. Kota besar ini telah membuat banyak orang merasa terasing di keramaian, merasa tidak punya siapa-siapa untuk berbagi rasa sakit. Saya menyediakan hati untuk itu—menjadi seorang pendengar yang tentu pula berbeda dengan seorang psikiater atau psikolog.
Pekerjaan sebagai seorang pendengar adalah tentang ketulusan. Rasa pengertian yang dalam. Kesabaran tiada batas. Pengalaman hidup membuat saya paham bahwa seseorang yang sedang bersedih atau terluka hanya butuh didengarkan saja, sebab setelah itu, percayalah, ia akan kembali menemukan jalannya sendiri. Jalan yang ia pilih dengan dada dan perasaan yang telah ringan. Dan saya pun tak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi. Saya tersenyum, karena saya tahu mereka pasti menemukan hal-hal termanis di kehidupan yang akan datang. Kau juga percaya itu, bukan?
***
TAPI ah, ini di luar perkiraan ketika dua bulan kemudian saya kembali menemukan ia, saya kembali menemukan ia, lelaki berwajah oriental, menangis sendirian di bangku taman saat saya hendak menemui seorang perempuan yang menelepon dan akan menunggu persis di bangku itu. Saya masih ingat betul kalau lelaki itu memang ia yang saya temui di padang rumput pinggir kota. Ia yang hanya menangis sepanjang pertemuan kami, dan berkata, “Sudah selesai. Hati saya sudah ringan dan lebih nyaman sekarang.” Lelaki yang saya yakini, setelah pertemuan kami itu, bisa melewati kehidupannya dengan lebih baik. Nyatanya, kali ini, saya benar-benar salah. Saya tidak tahan melihat bahu kurusnya terguncang keras. Hati saya terluka.
Saya berkata pelan, “Kenapa kau tidak menghubungi saya?” sebenarnya saya ingin melanjutkan, tahukah kau, menemukanmu menangis sendirian di bangku taman membuat saya terluka, sebab seolah-olah kau benar-benar tak punya sesiapa lagi di dunia ini.
Lelaki itu mengangkat wajahnya. Mata sipitnya mengerjap, memandangi saya. Cuma sebentar saja. Setelah itu, ia melanjutkan tangisannya. Saya memutuskan untuk tetap berdiri di hadapan lelaki itu dan saya tidak tahu sejak kapan sudah menangis bersamanya. Ini tidak pernah terjadi. Terlebih dalam kapasitas saya sebagai seorang pendengar.
Maka kami pun menangis dengan suara yang tertahan-tahan. Kami berbagi rasa pedih yang diam-diam kami pendam. Dan kami tak perlu bicara apa-apa untuk saling tahu penderitaan serupa apa yang dapat melumpuhkan kami di saat-saat tertentu. Sama juga saya tidak tahu sampai kapan saya dan lelaki itu akan menghentikan tangisan yang bisa jadi dianggap konyol oleh beberapa orang yang lewat di depan kami. Bahkan saya juga tidak mengerti kenapa saya tidak terlalu memikirkan perempuan yang menelepon kemarin sore—seseorang yang seharusnya ada di bangku taman ini. Mungkinkah perempuan bersuara gundah itu pindah ke bangku lain karena tidak tega mengusir seorang lelaki yang sedang menangis? Entahlah. Sungguh. Entahlah. (*)
 .
.
                         Padang, 2011
Yetti A KA, bukunya yang telah terbit Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), Musim yang Menggugurkan Daun (2010), dan Numi (2004).